BAG II
Aku pernah begitu menutup diri atas semua manusia yang datang. Aku pernah
tertunduk lesu pada setiap lelaki yang hadir. Aku pernah mengenyahkan jauh-jauh
perasaan yang kadang menggelitik hati karena begitu takut untuk jatuh pada
kenangan lama. Aku pernah membuang jauh-jauh semua perasaan hati yang
kutakutkan bisa menguras habis keping hati. Kepingan karena luka yang lama. Aku
pernah kehilangan segalanya. Segala tentang hati terkubur begitu jauh.
Engkau yang kemudian datang. Menciptakan sebuah gemuruh dan angin topan
dahsyat yang bisa membuatku lupa. Lupa aku harus tetap tertidur dalam kubur
yang kubuat sendiri. Engkau yang datang seharusnya tidak mengusik dunia yang
kubangun dengan begitu senyap. Engkau yang datang tak seharusnya membuatku
merasa kembali hidup. Aku berusaha
menghalau, namun tetap tak bisa. Tak mampu. Aku ternyata berlari untuk
segera meninggalkan duniaku. Menujumu. Ke arah dimana engkau berdiri.
Kini, segala tentang aku, engkau, kita terkikis gelombang waktu. Semunya berakhir
tanpa mampu kukendalikan. Aku terhempas dengan begitu kerasa saat gelombang datang.
Aku, yang seharusnya tetap berada dalam dunia kita, terbuang kembali ke dunia
gelap. Sunyi dan senyap. Dan engkau, tetap pada duniamu. Jarak begitu jauh
mengantarai kita. Bahkan untuk sekedar mendengar desahmupun tak bisa kulakukan.
Kita tinggal cerita.
Untuk kesekian kali, aku harus belajar mengikhlaskan. Belajar melepaskan.
Belajar bahwa kita akan tetap menjadi sebuah kenangan yang indah meski tak lagi
serumpun.
Kita berakir disini.
Mendung sore. Awan gelap yang
menggelayut memudarkan pesona cerah. Tarik ulur cuaca menyiratkan pergulatan.
Mungkin hujan akan segera turun. Atau mungkin seperti kemarin. Awan gelap
menggantung di angkasa sejauh mata memandang, tapi rintik hujan tak jua kunjung
menetes. Sesekali angin bertiup. Ntah bersekongkol dengan apa. Apakah mengantar awan gelap untuk
semakin mengumpul atau mengahalaunya untuk segera berlalu. Seharusnya, Sunset bisa nampak saat ini di ufuk barat. Tapi,
semburat sore itu hilang ditutupi awan gelap mendung.
Air mata menetes. Aku harus memendam rasa. Rasa yang tak berujung. Air mata
menetes, tapi bukan karena perih. Aku meneteskannya karena aku tersadar, keindahan
rasa ini terlalu anggun hanya untuk sekedar dilupakan. Aku meneteskan air mata,
karena itu caraku melepas beban. Melepas asa yang mungkin tak teraih. Meneteskan
airmata menjadi sebuah syarat. Betapa semuanya begitu sayang untuk kubuang.
Aku, engkau, kita. Sebuah cerita
yang bisa menghapus begitu banyak mendung yang ada. Aku, engkau, kita.
Seharusnya bisa menghalau mereka lagi. Tapi, aku, angkau, kita. Telah habis
cerita. Telah habis makna. Telah habis bahasa. Telah habis kata. Telah
kehabisan inspirasi.
Tapi, aku, engkau, dan kita akan tetap ada dalam sejarah pergulatan
cuaca. Cuaca dimana awan menggelantung pada hati yang tak terdefinisi.
( Sinjai, 23 Oktober 2012 )