Giris gerimis itu membawa kembali wajahmu. Wajah yang sama. Wajah yang pernah merebut setiap rasa cinta yang kumiliki. Semua perhatian, semua keagungan hati seorang perempuan, semua kepercayaan, semua harapan, semua keindahan dari rasa. Semua keyakinan.
Wajahmu masih dengan gurat yang sama. Air muka yang sama. Tak ada yang berubah dari senyum itu. senyum yang mampu menggetarkan sendi-sendi hatiku yang tertidur dalam remang. Menghangatkannya dengan kelembutan! Keindahan yang tak seorang pun mampu menyangkalnya. Wajahmu, Lelaki !
Aku mencintaimu lelaki ! bahkan lagu itu terus saja menggema di ruang batinku hingga tak terasa 4 tahun berlalu. Menghangatkan diriku dalam tetes kerinduan. Asa untuk terus mendekapmu dalam jiwaku memenuhi rongga hatiku. Hati seorang perempuan. Kepalaku tak mampu menahan setiap kali otakku berputar melukismu dalam tiap sel di tubuhku. Hingga bahkan aku tak mampu memalingkan wajahku, tubuhku, seluruh diriku darimu. Dirimu Lelaki, ada dalam diriku, mengalir di darahku.
Lukisan wajah di langit itu mengingatkan diriku akan hari-hari yang pernah kulewati bersama denganmu, Lelaki. Betapa dalam setiap do’aku mengalir rintihku padaNya dalam harap semoga dalam setiap jejak langkahmu, selalu saja dalam rengkuhannya. Bahkan aku takut Ia berpaling hingga tak menjagamu kala jauh dariku. Aku takut, di setiap perjalanan panjang yang kau lalui, Ia tak membawamu kembali padaku. Taukah, Lelaki ??
Segala tentangmu meyakinkanku. Engkaulah jawaban dari pencarian akan imamku. Tiada ragu sedikitpun di hati saat aku memintaNya agar memberiku waktu tetap bersamamu hingga nafasku berakhir. Aku mengagungkanmu hingga aku bahkan tak punya waktu memikirkan yang lain. Mataku tak mampu melihat keindahan dari wajah lelaki lain meski awan menggambarnya begitu nyata. Aku mencintaimu, hingga tak tersisa ruang sedikitpun untuk yang lain.
Lelaki, tahukah kau, begitu bahagia diriku kala mereka yang disekelilingku begitu percaya padamu? Begitu yakin akan dirimu ? dan awan yang kadang menghujatmu, merusak lukisan wajahmu dilangit itu kelu, kalah. Ia tak mampu mengganggumu.
Lelaki, tahukah kau, segenap rasaku begitu indah untukmu ?
Tetapi, mengapa kau membunuhku perlahan ?
Tetapi, mengapa kala segalanya keserahkan untukmu, wajah di langit itu kian redup? Padahal awan-awan yang iri padaku tak menjamahmu. Mengapa wajah itu bahkan tak tersenyum lagi padaku? mengapa kehangatan itu tak lagi terasa ? mengapa doa’-do’a tertulus dariku begitu asing? Kukira, saat bibirku merangkai kata dalam tenggelamnya do’aku engkau kan mengAminkannya. Kukira kerinduan yang bergetar dalam hatiku sama dengan getaran rindu di hatimu. Aku mengira, jiwamu menyatu dengan jiwaku, seperti dirimu yang ada dalam nafasku.
Lelaki, mengapa harus sekarang ? mengapa harus saat ini engkau membawa petir bersamamu di langit? Mengapa sekarang kau mengerahkan mereka, membunuhku dengan petir-petir itu ? tahukah kau ? andai saja kau minta, kau bisa mengambil nyawaku dengan tanganmu sendiri. Bukan dengan petir yang menghujamku ? Mengapa harus sekarang saat segalanya kuberikan untuk dirimu, kau tak lagi menyingkap petir itu menjauh dariku seperti dahulu? Kau bersekongkol dengannya untuk menghancurkanku. Bahkan saking sakitnya, hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirku. Mengapa?
Mengapa kian memelas aku meminta jawabmu, hanya keangkuhan yang kutemui. Tiada lagi wajah yang teduh itu. Kau membalas tatapan mataku yang meminta penjelasan dengan hantaman petir yang melemparkanku dalam jurang Tanya yang tak mampu kujawab. Salahkah aku dengan segala yang kuberikan untukmu? Saat tubuh ringkihku bangun perlahan, petir itu terus saja menghantam bersama tawamu yang terbahak-bahak melihatku jatuh dalam kepingan kecil.
Hatiku kini menjadi remah kecil yang masih meneriakkan namamu lelaki. Berteriak agar Tuhan menahan amarah untuk membalasmu. Begitu lembut remahan itu tetap dalam do’a untuk keselamatan, kebahagiaanmu. Tapi semua itu terdengar lucu bagimu karena tawamu kian keras diseantero langit.
Langit membawa wajahmu berlalu. Meninggalkan diriku dalam kesunyian. Dalam kepingan tak berbentuk. Gelap. Kepingan itu mengeluarkan air mata yang terus menetes seiring Tanya yang tak terjawab. Kepingan-kepingan diriku terbawa arus air yang menyatu. Terbang bersama angin ribut. Terbawa udara. Bercerai berai kepenjuru bumi. Hancur !
Waktu berlalu begitu cepat. Musim berganti. Hujan berganti sinaran matahari di bumi. Gerimis berganti senyum mentari. Alam bersinar terang.
Perlahan, angin, air dan udara yang tak sanggup lagi mendengar rintihan kepingan-kepingan kecil, bersikukuh membawa mereka kembali. Bersatu kembali. Aku yang dulu, kini kembali menjadi diriku. Dan alampun bersorak. Kepingan itu, tak lagi benda kecil tak berbentuk. Tapi sekarang menjadi manusia. Seorang perempuan.
Tiap kepingan yang dulu bermunajat kepadaNya tiada henti untuk keselamatanmu, meneriakkan kebencian dan sumpah serapah.
Lalu, dengan kelembutan, hatiku berbicara. Akulah yang tak mampu membendung rasaku hingga begitu besar. Dan rasa itulah yang dulu begitu gampangnya memecah tubuhku. Petir hanyalah sebab kecil. Akulah yang tak menyimpan sedikit ruang untuk hatiku bernapas. Aku begitu egois menempatkan dirimu diseluruh tubuhku hingga hatiku tak mampu bernapas lagi karena dipenuhi olehmu. Karenanya, ia sakit, ia melepuh, ia meradang, lalu hancur bersama organ yang lain.
Aku tersadar, aku terbangun dari tidur yang panjang. Mimpi yang terlalu indah. Keyakinan itu terlalu cepat terbentuk untukmu. Rasa cintaku yang terlalu besar tak mampu menggapaimu hingga ke langit. Kau terlalu jauh.
Cinta ini memang pernah membunuhku. Tetapi, karenanya, aku mampu lahir menjadi manusia yang lebih baik. Lelakiku, mungkin kau telah menganiayaku dengan semua perlakuanmu. Tapi karenanya aku mampu mengerti arti cinta yang sebenarnya. Cinta yang tidak mengikat tapi membebaskan. Cinta yang tidak terbatas tapi memberi ruang. Cinta yang mendewasakan.
Kalaupun dahulu aku menghujatmu dengan kata-kata kasar, semua itu terjadi karena sakitku. Pedihku karena ulahmu. Sekarang waktu mengubahku, do’a tertulusku masihlah kucurahkan padaNya meski tak lagi memintaNya menjadikanmu milikku. Biarlah engkau berlalu mencari tujuanmu. Dan aku akan tetap pada takdirku, cintaku, dan seluruh keyakinanku bahwa Tuhan akan membawa lelaki yang nyata untukku.
Kini, giris gerimis itu kembali datang. Membawa lukisan wajahmu. Lelakiku. Tapi hatiku kini tak lagi menyuarakan kekaguman dan kecintaan. Hatiku kini hanya tinggal merangkai kenangan lama itu menjadi mozaik puisi kehidupan yang penuh hikmah. Penuh makna.
Saat gerimis perlahan menghilang, wajahmu perlahanpun menghilang berganti pelangi yang indah. Dan alam bernyanyi lembut berceritera tentang hariku yang belum berakhir. AAhhhh!!! Lelakiku !!!
(Sinjai, 10 Juli 2012)