Minggu, 29 Juli 2012

Buatlah ORANG LAIN Tersenyum

Kadang aku berpikir bahwa hidupku tidak berarti sama sekali. Tidak tenar, tidak populer, dan tidak punya tempat dihati orang-orang disekelilingku. Sering aku berpikir untuk meninggalkan segalanya. Mengahiri hidupku karena kehadiranku tak ubahnya hanyalah sebuah remah kecil tak berarti. tak berbentuk. dan lebih baik tak dilahirkan di dunia.
Bernapas menjadi sangat berat. Melihat dunia begitu sempit. Aku merasa semua orang dimana-mana mencemoohku. menganggapku jalang. Menganggapku sampah yang yang harus dibuang jauh. Begitu ingin aku mengubur semua tentang diriku dalam-dalam kepelukan bumi.
Waktu bergulir. aku mulai merasakan hawa sejuk bumi. Keindahan alam yang ada disekelilingku. wangi bunga. Suara nyanyian alam. Gesekan daun dan dahan pepohonan. 
Mereka begitu hebat menyajikan sebuah orkestra yang indah meski orang-orang yang lalu lalang tak perduli. atau mungkin karena mereka tak mendengar keindahannya? Hingga akhirnya aku berkonspirasi dengan alam karena mereka sama denganku. Tak punya arti di hati orang-orang.
Waktu bergulir. Dan semuanya berlalu satu demi satu. Berganti.
Aku mulai mencari orang-orang yang juga merasa "sendiri". Aku yakin pasti ada karena aku menemukan alam ternyata juga terbuang ditengah keramaian. Pasti. Pasti Ada manusia lain yang juga kesepian. Aku yakin. Dan aku harus mencari mereka Bagaimanapun caranya. Keinginanku sederhana. Aku ingin menyatu dengan mereka agar bisa membuat konspirasi yang lebih besar. Sapa tau bisa menghancurkan dunia ( :-) ) Lucu skali !!!
HHHHHHeeemmm dan ternyata benar ! Ternyata memang banyak orang yang merasakan kesia-siaan. di mana-mana. Bedanya, mereka "hancur" karena persoalan asmara. dan Akupun menjadi dekat dengan mereka karena aku mampu membuat mereka terbuka padaku. Mudah Membuat mereka membuka diri dan bercerita padaku. Menjadikan diriku sebagai pembuangan dari tiap keluh kesah mereka. Begitupun dengan diriku. Aku menjadikan mereka pelabuhan dari pemberontakanku. 
Kedekatan. Itulah yang terjadi. Mereka menjadi "bergantung" padaku. karena mereka menanganggap aku mampu membuat mereka nyaman dalam kegalauan yang mereka alami.
Aku mulai berpikir untuk membuat mereka tersenyum ketika rasa sakit mendera. Meski terkadang akupun tak mampu mewujudkan semua kata-kata dan nasehatku pada mereka dalam kehidupan nyata. Akupun sulit mendamaikan hatiku dengan tiap kenyataan yang pernah ada.
Hidup yang berkhianat denganku.
Tapi, memang begitu tenang tatkala kita mampu menjadi jalan keluar bagi tiap masalah yang dihadapi orang lain. Membuat mereka tersenyum kala tersakiti ternyata begitu sulit sekaligus menantang. 
Aku merubah niat. dari yang semula menginginkan konspirasi yang lebih besar untuk menghujat kesendirian kini berusaha membuat orang-orang hancur sepertiku bangun dan melihat keindahan dunia. Begitu dilematis dan lucu memang karena di satu sisi, aku bahkan belum mampu membuat diriku menemukan kebahagiaan seperti yang berusaha ku tunjukkan pada mereka. Munafik, bukan ??
Tapi, aku nyaman. Aku bahagia, aku senang ketika mereka tertawa dalam bejatnya hidup.
Dan tak kusadari, aku menemukan bahwa ternyata aku ini berarti. Aku punya ARTI. Kehadiranku bukan remah tak berbentuk. Aku manusia yang bisa diandalkan meski hanya alam kalangan mereka yang "tersakiti".


Mereka membuatku tersadar. bahwa ternyata hidup ini indah berarti tergantung bagaimana kita menghadapinya. memecahkan tiap teka-teki. Mengalahkan tiap tantangan yang ada. Aku sadar bahwa meskipun tak menjadi orang yang dielu-elukan tiap saat oleh banyak orang, kita masih bisa menjadi orang yang nomor satu diantara segelintir orang, yang ternyata membeikan penghargaan yang lebih besar !

Aku bisa ! Aku Mampu! Aku berarti !
dan Aku yakin itu !




Sabtu, 14 Juli 2012

ILUSI

Aku mencarimu kEmana-mana
kuselidiki tiap sudut
kesingkap bentangan tirai
berharap penantian panjangku berakhir

aku lelah dengan s'galanya
ketika mentari tak mampu menerangi
cahaya tak nampak
aku letih

kemana dan dimana akan kutemui
ragaku memberontak
nafaku menderu
akankan kau nyata ?

Rabu, 11 Juli 2012

KEPINGAN HATI




Giris gerimis itu membawa kembali wajahmu. Wajah yang sama. Wajah yang pernah merebut setiap rasa cinta yang kumiliki. Semua perhatian, semua keagungan hati seorang perempuan, semua kepercayaan, semua harapan, semua keindahan dari rasa. Semua keyakinan.
Wajahmu masih dengan gurat yang sama. Air muka yang sama. Tak ada yang berubah dari senyum itu. senyum yang mampu menggetarkan sendi-sendi hatiku yang tertidur dalam remang. Menghangatkannya dengan kelembutan! Keindahan yang tak seorang pun mampu menyangkalnya. Wajahmu, Lelaki !
Aku mencintaimu lelaki ! bahkan lagu itu terus saja menggema di ruang batinku hingga tak terasa 4 tahun berlalu. Menghangatkan diriku dalam tetes kerinduan. Asa untuk terus mendekapmu dalam jiwaku memenuhi rongga hatiku. Hati seorang perempuan. Kepalaku tak mampu menahan setiap kali otakku berputar melukismu dalam tiap sel di tubuhku. Hingga bahkan aku tak mampu memalingkan wajahku, tubuhku, seluruh diriku  darimu. Dirimu Lelaki, ada dalam diriku, mengalir di darahku.
Lukisan wajah di langit itu mengingatkan diriku akan hari-hari yang pernah kulewati bersama denganmu, Lelaki. Betapa dalam setiap do’aku mengalir rintihku padaNya dalam harap semoga dalam setiap jejak langkahmu, selalu saja dalam rengkuhannya. Bahkan aku takut Ia berpaling hingga tak menjagamu kala jauh dariku. Aku takut, di setiap perjalanan panjang yang kau lalui, Ia tak membawamu kembali padaku. Taukah, Lelaki ??
Segala tentangmu meyakinkanku. Engkaulah jawaban dari pencarian akan imamku. Tiada ragu sedikitpun di hati saat aku memintaNya agar memberiku waktu tetap bersamamu hingga nafasku berakhir. Aku mengagungkanmu hingga aku bahkan tak punya waktu memikirkan yang lain. Mataku tak mampu melihat keindahan dari wajah lelaki lain meski awan menggambarnya begitu nyata.  Aku mencintaimu, hingga tak tersisa ruang sedikitpun untuk yang lain.
Lelaki, tahukah kau, begitu bahagia diriku kala mereka yang disekelilingku begitu percaya padamu? Begitu yakin akan dirimu ? dan awan yang kadang menghujatmu, merusak lukisan wajahmu dilangit itu kelu, kalah. Ia tak mampu mengganggumu.
Lelaki, tahukah kau, segenap rasaku begitu indah untukmu ?
Tetapi, mengapa kau membunuhku perlahan ?
Tetapi, mengapa kala segalanya keserahkan untukmu, wajah di langit itu kian redup? Padahal awan-awan yang iri padaku tak menjamahmu. Mengapa wajah itu bahkan tak tersenyum lagi padaku? mengapa kehangatan itu tak lagi terasa ?  mengapa doa’-do’a tertulus dariku begitu asing? Kukira, saat bibirku merangkai kata dalam tenggelamnya do’aku engkau kan mengAminkannya. Kukira kerinduan yang bergetar dalam hatiku sama dengan getaran rindu di hatimu. Aku mengira, jiwamu menyatu dengan jiwaku, seperti dirimu yang ada dalam nafasku.
Lelaki, mengapa harus sekarang ? mengapa harus saat ini engkau membawa petir bersamamu di langit? Mengapa sekarang kau mengerahkan mereka, membunuhku dengan petir-petir itu ? tahukah kau ? andai saja kau minta, kau bisa mengambil nyawaku dengan tanganmu sendiri. Bukan dengan petir yang menghujamku ? Mengapa harus sekarang saat segalanya kuberikan untuk dirimu, kau tak lagi menyingkap petir itu menjauh dariku seperti dahulu? Kau bersekongkol  dengannya untuk menghancurkanku. Bahkan saking sakitnya, hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirku. Mengapa?
Mengapa kian memelas aku meminta jawabmu, hanya keangkuhan yang kutemui. Tiada lagi wajah yang teduh itu. Kau membalas tatapan mataku yang meminta penjelasan dengan hantaman petir yang melemparkanku dalam jurang Tanya yang tak mampu kujawab. Salahkah aku dengan segala yang kuberikan untukmu? Saat tubuh ringkihku bangun perlahan, petir itu terus saja menghantam bersama tawamu yang terbahak-bahak melihatku jatuh dalam kepingan kecil.
Hatiku kini menjadi remah kecil yang masih meneriakkan namamu lelaki. Berteriak agar Tuhan menahan amarah untuk membalasmu. Begitu lembut remahan itu tetap dalam do’a untuk keselamatan, kebahagiaanmu. Tapi semua itu terdengar lucu bagimu karena tawamu kian keras diseantero langit.
Langit membawa wajahmu berlalu. Meninggalkan diriku dalam kesunyian. Dalam kepingan tak berbentuk. Gelap. Kepingan itu mengeluarkan air mata yang terus menetes seiring Tanya yang tak terjawab. Kepingan-kepingan diriku terbawa arus air yang menyatu. Terbang bersama angin ribut. Terbawa udara. Bercerai berai kepenjuru bumi. Hancur !
Waktu berlalu begitu cepat. Musim berganti. Hujan berganti sinaran matahari di bumi. Gerimis berganti senyum mentari. Alam bersinar terang.
Perlahan, angin, air dan udara yang tak sanggup lagi mendengar rintihan kepingan-kepingan kecil, bersikukuh membawa mereka kembali. Bersatu kembali. Aku yang dulu, kini kembali menjadi diriku. Dan alampun bersorak. Kepingan itu, tak lagi benda kecil tak berbentuk. Tapi sekarang menjadi manusia. Seorang perempuan.
Tiap kepingan yang dulu bermunajat kepadaNya tiada henti untuk keselamatanmu, meneriakkan kebencian dan sumpah serapah.
Lalu, dengan kelembutan, hatiku berbicara. Akulah yang tak mampu membendung rasaku hingga begitu besar. Dan rasa itulah yang dulu begitu gampangnya memecah tubuhku. Petir hanyalah sebab kecil. Akulah yang tak menyimpan sedikit ruang untuk hatiku bernapas. Aku begitu egois menempatkan dirimu diseluruh tubuhku hingga hatiku tak mampu bernapas lagi karena dipenuhi olehmu. Karenanya, ia sakit, ia melepuh, ia meradang, lalu hancur bersama organ yang lain.
Aku tersadar, aku terbangun dari tidur yang panjang. Mimpi yang terlalu indah. Keyakinan itu terlalu cepat terbentuk untukmu. Rasa cintaku yang terlalu besar tak mampu menggapaimu hingga ke langit. Kau terlalu jauh.
Cinta ini memang pernah membunuhku. Tetapi, karenanya, aku mampu lahir menjadi manusia yang lebih baik. Lelakiku, mungkin kau telah menganiayaku dengan semua perlakuanmu. Tapi karenanya aku mampu mengerti arti cinta yang sebenarnya. Cinta yang tidak mengikat tapi  membebaskan. Cinta yang tidak terbatas tapi memberi ruang. Cinta yang mendewasakan.
Kalaupun dahulu aku menghujatmu dengan kata-kata kasar, semua itu terjadi karena sakitku. Pedihku karena ulahmu. Sekarang waktu mengubahku, do’a tertulusku masihlah kucurahkan padaNya meski tak lagi memintaNya menjadikanmu milikku. Biarlah engkau berlalu mencari tujuanmu. Dan aku akan tetap pada takdirku, cintaku, dan seluruh keyakinanku bahwa Tuhan akan membawa lelaki yang nyata untukku.
Kini, giris gerimis itu kembali datang. Membawa lukisan wajahmu. Lelakiku. Tapi hatiku kini tak lagi menyuarakan kekaguman dan kecintaan. Hatiku kini hanya tinggal merangkai kenangan lama itu menjadi mozaik puisi kehidupan yang penuh hikmah. Penuh makna.
Saat gerimis perlahan menghilang, wajahmu perlahanpun menghilang berganti pelangi yang indah. Dan alam bernyanyi lembut berceritera tentang hariku yang belum berakhir. AAhhhh!!! Lelakiku !!!
(Sinjai, 10 Juli 2012)

TANYA


Ada Tanya dalam rintih
Pada dasar hati
Kala jawab tak mampu menafsir arti
Tiada lah mampu memilih slain harap mengukir
Di malam-malam itu,
akankah jawaban itu engkau…


(Bulukumpa, 6 Agustus 2005)

Senin, 09 Juli 2012

Rahasia di Balik Cahaya


Cahaya yang terburai dari dari cahaya putih itu berjumlah tak terbatas. Namun, yang bisa dibedakan oleh mata manusia hanya sekitar 7 saja : merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Padahal, sebenarnya cahaya-cahaya itu bergeser secara kontinum. Ada jutaan cahaya antara merah dan jingga. Demikian pula, antara jingga dan kuning, antara kuning dan hijau, antara hijau dan biru, dan antara nila dan ungu.
Pergeseran itu bergantung pada tingkat frekuensinya. Semakin tinggi frekuensi, semakin tinggi energinya. Dan, yang paling tinggi frekuensinya adalah warna putih, yaitu ketika seluruh warna cahaya itu melebur menjadi satu. Cahaya ilahiyah.
Dengan kata lain Allah ingin menjelaskan bahwa makhluk ciptaanNya memiliki jenis dan strata yang bermacam-macam, bergantung frekuensinya, bergantung kualitasnya, bergantung energinya.
Allah membimbing hambaNya siapapun dia kepada cahaya yang memiliki energi paling tinggi, yaitu Cahaya Putih. Caranya Cuma satu : meleburkan seluruh warna cahaya yang ada, menjadi satu warna saja. Inilah cahaya utama yang paling universal.
Cahaya merah adalah cahaya yang paling rendah frekuensinya. Dalam pembahasan tentang karakter aura, ia melambangkan ego yang sangat tingggi : pemarah, pendendam, sulit memaafkan, iri, dengki, sombong, serakah, dan cinta duniawi.
Yang energinya lebih tinggi adalah warna cahaya jingga-kuning. Auranya menggambarkan ego yang sudah mulai menurun kearah karakter social. Ia orang yang pintar bergaul meskipun egonya masih dominan.
Lebih tinggi adalah warna hijau. Inilah cahaya kedermawanan. Seseorang yang memancarkan aura hijau menunjukkan karakter kepedulian pada orang lain. Memiliki rasa empati yang tinggi, berjiwa social. Ego pribadinya semakin rendah, menuju kepada sifat-sifat universal.
Lebih tinggi lagi adalah warna biru. Warna cahaya yang menggambarkan sifat-sifat keilmuan, kejujuran, keadilan dan kontemplasi. Orang yang telah mencapai aura biru biasanya suka melakukan pencarian makna – makna kehidupan sejati.
Warna nila dan ungu memiliki energy lebih tinggi yang menggambarkan ego semakin rendah. Orang-orang dengan aura ungu adalah orang yang mengabadikan hidupnya untuk kemanusiaan. Ego pribadinya rendah, didominasi oleh ego sosialnya.
Dan yang paling tinggi dari semua itu adalah warna putih. Inilah aura yang sangat universal dengan energy tertinggi. Warna putih hanya bisa terjadi jika seluruh cahaya “melebur” menjadi satu. Seluruh karakter cahaya akan menghilang, berganti dengan cahaya putih yang sama sekali berbeda.
Rasulullah mengatakan bahwa “belum islam seseorang sampai dia bisa menundukkan hawa nafsunya”. Menundukkan seluruh sifat keduniawian yang tak terkendali.
Jadi, ketika seseorang telah bisa melebur hawa nafsunya, sebenarnya, dia telah berserah diri kepada Allah. Seluruh sifat-sifat egoistik dan sosialnya berubah menjadi sifat-sifat spiritualitas. Sifat-sifat ketuhanan yang universal. Seluruh auranya telah melebur menjadi satu. Cahaya Putih.
Maka, dalam waktu yang bersamaan, sebenarnya dia telah meleburkan diri bersama-sama dengan makhluk Allah di seluruh penjuru langit dan bumi dalam sebuah alunan tasbih tiada henti. Berjuta-juta malaikat, miliaran makhluk bumi, serta triliunan benda langit di jagad semesta raya yang sedang bertasbih dalam sebuah orchestra yang menggetarkan jiwa.

(disadur dari buku AGUS MUSTOFA : “BERSATU DENGAN ALLAH”)

Copyright @ 2013 Titin Darmadi.